Rendezvous {Remake My Fate [Chapter 1]} – by Sehun’Bee

Rendezvous

Sehun’Bee

..

Oh Sehun – Khaza Hanna – Byun Nami


Kai – Baekhyun – Hanbin

.♥.

Romance – Drama -Marriage Life – Hurt – Family – Friendship – Adult

PG-17

Multi-Chaptered

.♥.

Credit >> poster and Header Title by : Apinslaster

Prev:

Summary

Sebuah cerita selalu dimulai dengan alur pertemuan, yang kadang dibiarkan berlalu oleh waktu.

The Plot [NOW]

My Fate

MassachesettsMassachusetts, Amerika Serikat.

Bunga merekah menjatuhkan tumpukan salju, suhu pun menghangat di awal musim semi yang baru. Kembali merangkai seribu kisah, meninggalkan masa yang berlalu. Tidak untuk melupakan sejarah tertulis di buku masa lalu. Di tempat yang sama, di bawah kolong langit biru, Massachusetts tumbuh menjadi negara tua bersama populasi unggul.

Tak sedikit orang yang menyadari, di sinilah sejarah Amerika dirangkai beratus-ratus tahun lalu dengan pristiwa Boston Tea Party yang paling terkenal. Tertulis, kolonial Inggris memaksa rakyat Amerika membeli teh pada mereka dengan pajak tinggi. Merugikan petani lokal yang ingin bertahan hidup di tengah jajahan bangsa Eropa. Murka, rakyat pun menyamar menjadi suku Indian dan membuang berpeti-peti teh Inggris dari kapal ke Boston Harbor. Mendorong terjadinya Revolusi Amerika yang membawa kemerdekaan untuk rakyatnya.

Hingga kini, Amerika tumbuh elok dengan kekuatan militernya yang mumpuni. Disegani bangsa lemah di seluruh dunia, namun juga menjadi musuh diam-diam negara gagah berani.

Cukup sudah. Meregas sejarah panjang Boston tak akan ada habisnya. Gadis ber-coat merah itu bahkan tak percaya telah menetap lebih dari dua tahun di tempat awal mula terjadinya titik balik kejayaan Amerika. Surganya orang-orang berotak paling encer di dunia menuntut ilmu dan hidup. Tempat berdirinya perguruan tinggi paling bergengsi yang pernah ada; Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology.

Luar biasa, ini kehormatan. Senyum cantik seumpama surga di depan mata bahkan terpeta manis di wajahnya. Khaza Hanna—nama gadis itu. Memilih sibuk melarikan soket mata ke kanan dan ke kiri mencari hal menarik lain di tanah Boston, Ibukota Massachusetts. Saat dapat, kakinya malah berhenti meregas jarak kendati South Station tinggal lima puluh meter lagi. Gadis itu malah terpaku di tengah jalan setapak sampai lama tidak bergerak. Terfokus menatap tunawisma yang meringkuk di tengah taman, tanpa menyertakan niat untuk menghampiri.

tunawisma

Jika 200 tahun lalu tentara Inggris yang berkemah di sana, sekarang para tunawisma Boston yang justru menjadikan taman itu sebagai tempat tidur raksasa. Menghilangkan anggapan Hanna tentang glandangan yang hanya ada di negara berkembang. Lebih-lebih saat mengetahui ada lebih dari 7.000 tunawisma di Boston yang hidup layaknya manusia jalanan ibukota. Hanya 12% di antara mereka yang sudi hidup di wisma, sisanya tak segan membuat keindahan Boston cacat.

Ah, sudahlah, itu memang masalah umum suatu negara. Gadis berambut hitam alami itu kembali melanjutkan langkah. Jauh-jauh datang dari Cambridge ke Boston untuk menjemput sahabatnya, Byun Nami. Menggunakan berlapis pakaian, meskipun musim dingin telah berlalu. Seolah tak malu pada bunga yang sudah berani mekar sambil bergoyang mengejek; sisa salju yang masih ada membuat Hanna tetap berpikir ulang untuk keluar tanpa baju hangat. Mengingat musim semi utuh baru akan datang tiga hari lagi di awal bulan Maret.

Tak lama, hanya butuh lima menit waktu menunggu. Nami pun tiba dengan mimik menahan tawa melihat penampilan sahabatnya itu. Cantik, sih. Tapi lucu karena Hanna masih menggunakan lima lapis pakaian di awal pergantian musim.

“Hiburan di awal musim,” ejeknya setelah dua bulan tak bertemu. Terhitung semenjak menyelesaikan rangkaian ujian semester lima.

“Suhu masih sepuluh derajat Celcius, Nami,” bela Hanna; benar adanya. Tanpa diminta, jemarinya meraih satu koper hitam milik sahabatnya itu. Berjalan mendahului keluar stasiun menuju halte. Menunggu bus tujuan Cambridge datang menjemput.

Dalam diam, keduanya saling mengedarkan pandangan mengamati kawasan stasiun yang ramai. Banyak mahasiswa lain yang juga baru pulang berlibur dari kampung halaman, terlihat dari bagaimana cara mereka menggendong tas. Tujuannya sama, kembali ke kota di bagian Utara Boston; Cambridge. Tempat di mana Harvard dan MIT berdiri gagah dengan populasi manusia unggul dari berbagai belahan dunia.

“Kau seperti gadis tropis.” Nami kembali mengomentari penampilan sahabatnya.

“Hanya di siang hari, aku bisa menghangatkan diri.” Hanna mengedikkan bahu, juga tersenyum tipis pada Nami. Mengingatkan gadis itu bahwa di sore hari hingga tengah malam, Hanna hanya menggunakan kemeja putih tipis dengan apron olive green dan bawahan rok hitam di atas lutut.

Nami pun mengangguk, sambil lalu mengikutinya memasuki bus. Bersama, melesat menuju Harvard University—tempat di mana mereka menuntut ilmu dan tidur di asrama yang sama. Hanna sendiri baru satu hari kembali ke asrama karena memang bangunan kosong di musim liburan, sehingga mengharuskannya rela menyewa apartemen kecil di kawasan yang sama selama itu.

“Jangan terlalu memaksakan diri, Hanna. Siklus tidurmu kacau semenjak menginjakkan kaki di sini.”

“Eum … bagaimana kabar Paman dan Bibi?” Hanna bergumam sebagai tanggapan, dilanjut dengan mengalihkan pembicaraan. Namun tidak dengan matanya; gadis berambut caramel bergelombang itu tetap menjadi fokus.

“Baik, kedua orang tuamu juga baik. Aku mengunjungi mereka di Busan bersama Baekhyun Oppa. Kau tega tak pulang. Mereka sangat merindukanmu.”

Hanna tersenyum tipis, sedetik kemudian beralih menatap ke sembarang arah. Memendam sendiri alasan mengapa tak segan menahan rindu pada ayah dan ibu di Busan. Lebih asyik memikirkan apa yang akan ia lakukan nanti agar bisa lulus dengan hasil maksimal. Sementara sadar, perjuangan untuk bisa menjadi bagian dari HU itu sendiri tidak mudah.

Hanna juga tak lupa, tiga tahun sekolah menengah atas ia habiskan dengan belajar mati-matian untuk bisa meraih beasiswa jurusan psikologi di sini. Karena mengandalkan orang tua angkat yang hanya bekerja serabutan untuk mewujudkan mimpi itu sangat tidak mungkin. Terlebih, ini sudah terlanjur menjadi jalan hidup yang dipilihnya. Mau tak mau, harus sudi bekerja lebih keras di sini untuk biaya hidup dan mengesampingkan keinginan untuk pulang melepas rindu.

Seperti halnya Nami yang memilih jurusan bisnis di Harvard Business School dengan tujuan meneruskan bisnis keluarga, dan menjadikan senior tampan motivasi belajar di tengah tekanan bersaing luar biasa. Hanna juga memiliki tujuan dan motivasi tersendiri mengapa memilih Faculty of Arts and Sciences di HU sebagai prantra menggapai mimpi. Ia hanya ingin mematahkan argumen sang ayah yang katanya bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga tega membiarkannya kesepian di rumah besar. Hidup bersama keluarga pembantu bahkan Hanna anggap jauh lebih baik daripada kesepian tak ada teman.

Jika sukses nanti, maka sang ayah tak akan lagi memiliki alasan untuk meninggalkannya sendirian di rumah, karena Hanna bisa berhasil tanpa bantuan sepeser pun uang darinya. Itu tujuan gadis berparas dollfie tersebut dengan menjadikan tolak ukur dari banyaknya tenaga pengajar, peneliti, dan tokoh ternama yang lahir di fakultas ini sebagai ambisi untuk bisa menjadi generasi penerus yang juga akan berakhir dikenang.

Seperti: Skinner BF, Gordon Allport, Jerome Bruner, George Miller dan Henry Murray, yang nama-namanya seringkali tercetak di buku-buku referensi untuk mahasiswa psikologi. Atau paling tidak bisa sesukses Mark Zuckerberg, pendiri social media Facebook—yang juga mengenyam pendidikan di jurusan ini—untuk bisa membuat sang ayah meratap menyesal.

Atau jadi apa pun itu, asal sukses dengan hasil jerih payah sendiri. Setidaknya itu harapan besar Hanna, kendati sadar keinginannya terlalu tinggi melebihi cemara di pinggir jalan. Ibaratnya, tak sadar diri mengingat untuk biaya hidup sehari-hari saja harus bekerja dengan rok mini. Namun bukan untuk menjual diri karena Hanna gadis suci yang menjaga keperawanan dengan baik. Pekerjaannya hanya mencatat dan mengantar makanan dari satu meja ke meja yang lain, meskipun Hanna akui yang datang ke tempatnya bekerja mayoritas laki-laki tampan.

“Hanna, apa Sehun masih sering berkunjung ke tempatmu bekerja? Aku dengar, dia tidak pulang ke Korea saat liburan.” Laki-laki yang disebut Nami salah satunya. Senior yang menjadi alasan mengapa Nami mati-matian ingin menuntut ilmu ke Harvard dan mengambil jurusan yang sama dengannya. Ia bilang, pria itu cinta pertamanya semenjak menginjakkan kaki di bangku SMU. Dan Hanna harus rela menjadi pendengar baik seorang Byun Nami tentang si tampan selama lima tahun mereka saling mengenal.

“Hm, Sehun selalu datang tiga kali dalam satu minggu.”

“Sendirian?”

“Kadang bersama temannya.”

“Laki-laki atau perempuan?”

“Laki-laki.”

“Makanan apa saja yang selalu ia pesan?”

“Hanya kopi.”

“Astaga, aku sangat merindukannya.”

Hanna tersenyum kecil. Sedikit tak mengerti mengapa Nami tahan mencintai seseorang dalam diam kurun waktu lama dan tak bisa dibilang singkat. Kadang menangis saat tahu Sehun berkencan dengan seorang gadis, namun tak lama tersenyum lagi saat tahu Sehun kembali sendiri. Terus seperti itu sampai Nami sadar Sehun-nya seorang player yang tidak pernah serius pada sebuah hubungan.

Kendati demikian, Nami tetap mencintainya dan menjunjung tinggi ungkapan cinta itu buta. Persetan, meskipun tahu Sehun hanya meniduri wanita cantik yang memiliki tubuh menarik dengan daya tarik memikat; Nami tetap menganggap Sehun lelaki sempurna tanpa cacat fisik sekaligus sifat. Awalnya Hanna menganggap itu bodoh, namun sekarang paham bahwa cinta itu memang selalu memaklumi segala keburukan.

Lagi pula, mereka terlihat cocok. Sama-sama berasal dari keluarga terpandang di Korea sana dengan pendapatan Milyaran Won. Wajah keduanya juga mendukung; tampan dan cantik. Hanya tinggal menunggu waktu sampai perjuangan Nami berhasil menarik perhatian Sehun dalam diam. Kedekatan Byun Baekhyun—kakak kandungnya—dengan Oh Sehun juga menjadi nilai tambah untuk memermudah usaha. Ya, seharusnya seperti itu, jika saja Nami tak sembunyi setiap kali kakaknya keluar bersama pria idamannya itu.

“Jangan hanya diam saja, jika kau tak ingin menangis lagi melihatnya bersama wanita lain.”

“Sehun masih senang bermain-main. Aku akan menunggu sampai Sehun lebih dewasa dalam menyikapi sebuah hubungan.”

“Dan kau akan membiarkan wanita lain yang membuatnya dewasa?”

“Jangan menjatuhkan semangatku.”

“Bukan menjatuhkan, hanya menyadarkan. Nami, Sehun itu hanya belum mengenal cinta. Jangan sampai wanita lain yang membuatnya mengerti cinta.”

“Memangnya apa yang kau mengerti tentang cinta, Hanna? Aku bahkan belum pernah mendengarmu membahas soal pria yang kau suka.”

“Aku hanya belum ingin larut mencintai lawan jenis, sebelum bisa membahagiakan orang-orang yang kucintai saat ini, Nami.”

Kalah lagi. Nami selalu mati kata setiap kali mulai berdebat dengan Hanna. Lima tahun saling mengenal rupanya tak cukup untuk membuat Nami memahami sosok sahabatnya itu. Hanna terlalu banyak memiliki rahasia yang dikemas apik dalam peti jati bergembok besi. Di luar dari pekerjaanya, Hanna memang tak pernah mengajak orang lain bicara lebih dulu untuk memulai sebuah keakraban. Gadis itu terlalu pendiam; sulit dimengerti. Nami harus rela belajar cara membaca bahasa tubuh dan mimik wajah calon psikolog cantik itu, jika ingin tahu apa yang sedang dipikirkannya.

Seperti saat ini, Hanna tak lagi bicara setelah melangkah keluar dari bus dan terus seperti itu sampai paving Harvard menjadi pijakan. Tangannya menarik koper dengan mata mengedar menerawang, menarik lirikan Nami yang berjalan di sampingnya guna menerka.

“Hanna?” panggil gadis caramel itu. Bosan dengan kehadiran hening yang menyusup di sela kehangatan.

“Hm?”

“Kau bilang, belum ingin larut mencintai lawan jenis. Berarti, sudah ada pria yang kau cintai saat ini?”

“Cinta itu hal mutlak, Nami. Semua orang ada pada masa itu, bahkan anak sekolah dasar sekali pun. Aku rasa kau paham tanpa perlu bertanya lagi.”

“Lantas apa susahnya mengatakan padaku siapa laki-laki yang kau suka?”

Hanna tersenyum. Diam sesaat dalam langkah pasti merajut jarak menuju asrama. Mengabsen satu-satu apa yang dilewati dalam perjalanan dan berakhir mengagumi. “Di sini juga pernah melangkah tokoh-tokoh penting dunia: delapan Presiden Amerika termasuk di antaranya George W. Bush dan Barack Obama; Perdana Menteri Pakistan, Benazir Bhutto; aktivis lingkungan hidup, Al Gore; penulis Michael Crichton; aktor Tommy Lee Jones dan ratusan pemenang penghargaan Nobel.”

Nami mengerutkan alis mendengar penuturan sahabatnya itu, merasa tak puas karena lagi-lagi Hanna mengalihkan pembicaraan. Tetapi tetap menunggu kalimat selanjutnya dengan harapan ada jawaban memuaskan di dalamnya.

“Aneh rasanya membayangkan mereka juga hanya manusia biasa yang bersekolah, menggendong tas, bercanda dengan teman, dan kedinginan seperti aku sekarang.” Hanna membalas tatapan Nami. Sahabatnya itu pun tersenyum lantas mengaitkan lengan pada sikunya, sedetik kemudian, Hanna kembali sibuk menatap ke depan dan menerawang.

“Menurutmu, apa saat itu mereka tahu bertahun-tahun yang akan datang, setiap kata, tindakan atau keputusan yang mereka ambil akan berpengaruh bagi dunia?”

“Tentu saja, tidak.”

“Sekarang kau mengerti, mengapa aku belum ingin larut dalam cinta dan menceritakan soal pria padamu?”

Oh, calon psikolog cantik ini selalu punya cara tersendiri untuk membuat lawan bicaranya mengerti. Gigi putih Nami bahkan tak lagi bersembunyi malu-malu, sehingga bula sabit terbalik terbentuk di matanya.

“Ya, sudah. Kejarlah dulu mimpimu sampai kau tahu akan jadi apa di masa yang akan datang. Aku akan menunggu sampai saat di mana kau siap mengenalkan calon suamimu padaku.”

My FateSempurna selalu diartikan dengan sesuatu yang terlihat tanpa cacat. Jika mengutip kata ‘terlihat’, maka akan disadari tak ada yang benar-benar sempurna di dunia ini karena cacat itu senang bersembunyi. Semua orang tahu, Harvard itu perguruan tinggi bergengsi dengan kemampuan luar biasa dalam melahirkan manusia unggul berdaya saing mumpuni. Maka, bukan lagi hal asing jika itu menjadi alasan bagi mereka yang merasa mampu bersaing untuk bisa duduk di dalamnya.

Melupakan fakta bahwa Harvard berdiri di tanah Amerika, di mana seks bebas bukan lagi hal tabu di kalangan masyarakat. Termasuk, untuk mereka-mereka yang tinggal dalam ruang lingkup pendidikan. Koran The Harvard Crimson sendiri bahkan mencatat; ada 13% mahasiswanya yang melakukan hubungan seks di perpustakaan utama. Seolah tak malu pada 17 juta buku di sana yang diam-diam tersusun rapi di rak-rak tinggi sampai tak segan menjadikan mereka saksi bisu gulungan birahi.

Perbudakan oleh nafsu sejatinya memang bukan hal tabu lagi, bahkan untuk mereka yang hidup di budaya timur. Pergaulan bebas seolah sesuatu yang baik dan bisa diterima dengan tangan terbuka. Mereka yang tadinya baik pun tak masalah menjadi cacat asal tahu seperti apa kenikmatan surga dunia. Sekali mencoba, sukar untuk berhenti. Terus seperti itu, sampai lupa pada nilai dan norma yang berlaku.

Pria itu salah satunya. Terlahir baik dan suci, sebelum diregas keburukan zaman. Tetapi tetap terlihat sempurna di luar dengan ukiran wajah tegas dan menggoda. Setamsil malaikat tanpa nafsu birahi, matanya itu dingin sampai-sampai menatap apa pun seolah tanpa minat. Tinggi tubuhnya juga proporsional dengan otot perut kencang dambaan wanita pecinta seks. Jika memang tampan adalah indikasi kata sempurna, maka pria bernama Oh Sehun itu memilikinya. Namun jika kebaikan hati dan kearifan sifat adalah hakikat kesempurnaan, maka Sehun sama saja dengan manusia pada umumnya. Diam-diam menghanyutkan. Catat itu!

Sekarang saja baru selesai menaikkan zipper celana, sambil lalu memakai kemeja hitam keluar kamar. Meninggalkan wanitanya yang masih ribut memakai high heels bertali rumit. Belum lagi kemejanya kehilangan beberapa kancing mungil dan rok beige-nya sobek sepanjang jari kelingking. Oh, sempurna. Ini resiko mengajak kuda liar bercinta. Saat mengejar, lelakinya sudah menghilang dalam kotak pengangkut bernama elevator. Sungguh sial. Teman sekelasnya itu benar-benar tak serius menanggapi ungkapan cintanya.

“Facker! (Keparat!)” Sekarang, apa gunanya mengumpat jika harga dirinya sudah terbang bersama klimaks?

My Fate

Harvard_Square_in_Cambridge,_MassachusettsHarvard Square, Cambridge

Harvard Square, tempat gaulnya anak-anak Harvard. Penuh outlet, restoran, dan pub. Gerbang Harvard ada di salah satu sisinya dengan gedung-gedung merah bata yang berdiri rapat di sisi jalan. Berjalan di sini, tak bedanya menyusuri jalanan Inggris. Tidak salah, karena nama Cambridge sendiri diambil untuk menghormati Universitas Cambridge di Inggris—tempat banyak penduduk kota ini berasal.

Dalam langkah setenang riak air, Hanna berjalan dari asrama ke The Park Restaurant and Bar—tempatnya bekerja—tanpa menyertakan gurat lelah di wajah. Tak peduli seberapa jauh jaraknya, gadis itu hanya ingin menghemat ongkos. Selalu begitu. Nami kadang khawatir, jika Hanna pulang malam dan tetap memaksakan diri jalan kaki. Tak jarang, sahabat kayanya itu mengirim taksi untuk menjemput kepulangannya dari tempat kerja.

Ketika sampai, Hanna lekas mengganti baju tebalnya dengan kemeja putih tipis dan rok di atas lutut. Tak hanya itu, hal yang paling tidak Hanna sukai adalah high heels setinggi 13 sentimeter yang juga wajib dipakai. Tinggi tubuhnya jadi melejit mengingat tanpa alas saja ujung kepalanya sudah mencapai 169 sentimeter. Namun, Hanna tetap memakainya dan melakoni peran sebagai pelayan restoran dengan baik demi gaji 250 Dolar per bulan.

Kini, berjalan ke sana-kemari untuk sekedar menerima dan memberikan pesanan. Waktu istirahatnya sendiri hanya berdiri di depan pintu; menunggu pelanggan datang dan mengantarnya ke meja kosong. Terus seperti itu sampai tengah malam tanpa mengenal apa itu lelah. Hingga pada saat di mana orang yang dikenalnya datang menyapa, “Hi, Cantik!”

Dan, Hanna hanya tersenyum kecil seraya menggeleng pelan. Mengecek jarum jam di tangan dengan ujung lancip menunjuk angka sepuluh, lantas berjalan mendahului dan menuntunnya ke meja kosong di ruang berkelas berdesain senyaman ruang tamu.

park-restaurant-and-bar

“Kenapa membawaku ke sini?” tanyanya, bingung.

“Jam sepuluh malam rela datang kemari untuk bertemu dengan Sehun, kan?”

“Tidak. Aku hanya ingin melihatnya.”

“Ya, sama saja.”

“Tapi jangan di sini, Hanna. Bayaran untuk ruangannya saja pasti mahal.”

“Sehun selalu duduk di sana setiap kali berkunjung. Tidak untuk bagian lain di tempat ini. Jadi, bagaimana?” Hanna bertanya selepas menunjuk sofa panjang di depan rak buku.

“Baiklah, aku duduk di sini.” Gadis itu setuju, lantas mengambil sofa berbeda yang berada di bawah susunan bingkai foto.

Hanna tersenyum, lagi. “Mau pesan sekarang, Nona Byun?” lanjutnya bertanya.

“Nanti saja. Kau yakin, Sehun selalu datang di malam minggu?” jawab Nami disertai pertanyaan. Sekedar ingin memastikan usahanya malam-malam datang kemari tak akan berakhir hampa.

Sialnya, Hanna mengendik disertai senyum menggoda. Sengaja tak menjawab dengan niat hati ingin melihat ekspresi lucu sahabatnya itu. Lalu berlalu, kembali melangkah menuju pintu masuk dan menunggu pelanggan lain datang. Sayang, denting jam berjalan lambat saat kaki Hanna merajut jarak; bingkai pintunya sudah terlanjur terbuka oleh seorang pria yang begitu Nami puja. Gadis berparas dollfie itu pun memilih berhenti, lantas tersenyum menyambut. Menunggunya datang menghampiri dengan langkah tegas memukau, menggertak degup jantung.

“Kau lamban hari ini,” kritiknya.

Hanna mengendik sambil memeluk buku menu. “Malam minggu selalu ramai,” belanya, kemudian membalikkan tubuh. Menuntun pria berkemeja hitam dengan bawahan jeans berwarna senada itu ke tempat yang Hanna tahu menjadi favoritnya setiap datang kemari.

Mengetahui itu karena memang waktu selalu pas mengajak Hanna untuk memberikan pelayanan pada pria yang satu ini. Membuat keduanya saling mengenal tanpa perlu berjabat tangan, juga saling menyapa dalam bentuk formalitas. Kadang saling melirik tanpa disadari satu sama lain, bahkan tanpa menyertakan aba-aba untuk bertukar pandangan.

“Lemonade Iced Coffee?” tanya Hanna, setelah memersilahkan pelanggannya duduk. Gadis itu memastikan apa pesanan favoritnya juga sama seperti biasa.

“Tidak. Berikan aku, Long Island Iced Tea.”

“Huh?” Tidak salah dengar, tetapi ingin lebih jelas. Hanna tak bodoh untuk mengetahui itu jenis koktail dengan kadar alkohol tinggi, dimana vodka, rum, gin, tequila, triple sec, dan coke terkandung di dalamnya. Jika bukan seorang profesional, tiga teguk saja akan membuat peminumnya tak sadarkan diri.

Namun alih-alih menjawab, pria bermarga Oh itu justru tersenyum tipis. Mengunci gerakan canggung Hanna yang kemudian pecah bersamaan dengan datangnya anak-anak hedonis. Terdiri dari tiga orang lelaki—satu di antaranya berwarga kenegaraan sama dengan Si Pria Oh, dan tiga orang wanita cantik bertubuh menarik—yang Hanna yakini mahasiswi Harvard juga. Salah satunya bahkan tak canggung memberikan satu kecupan manis pada prianya, sebelum bertanya, “Have you been waiting long?”

“Nope.”

Bersamaan dengan itu, Nami bangkit dari duduk. Tak kuasa melihat bagaimana cara pemilik cintanya merangkul bahu wanita lain. Lebih-lebih menyadari betapa modis wanita itu dengan rok minim berbahan jeans dan atasan kemeja putih oversize yang dimasukan tanggung pada bagian depan. Sementara bagian belakangnya dibiarkan jatuh lemah di belakang tubuh bersama dengan rambut pirang bergelombangnya yang indah. Tak lupa wajah bule-nya yang manis dengan hidung bangir mungil yang tak henti menusuk tulang pipi Sehun, gemas.

Sontak, kepergiannya membuat Hanna mencelos di tempat tanpa bisa melakukan apa pun, selain diam mengikuti pergerakan punggung mungilnya yang menghilang di belokan pertama. Terang merasa bersalah telah membiarkan Nami datang malam ini, dengan melupakan fakta bahwa Sehun senang bermain di malam minggu. Kini, hanya bisa menerka seberapa banyak kepingan hati Nami yang porak-poranda melihat kegilaan pemilik cintanya tersebut. Yang jelas, sedih, kecewa, terluka, sakit; Hanna rasakan semuanya hanya dengan melihat bagaimana Nami bersikap.

My Fate

Tunggu sampai besok pagi, mata Nami pastinya akan bengkak setelah menghabiskan setengah bantal tisu. Terkesan merusak kecantikan diri sendiri hanya karena menginginkan sesuatu yang tak pernah berani dikejar untuk kemudian dimiliki. Benar-benar tindakan pengecut, atau bisa dibilang dungu—itu lebih cocok. Tapi memang tak ada gunanya mencintai seseorang jika hanya untuk ditangisi—seperti sekarang ini. Dewasanya, Nami harus bisa menentukan sikap pada kemantapan hati jika memang sudah bosan sakit hati.

Namun nyatanya keinginan hati memang selalu di luar kendali. Tak heran jika tangisnya semakin menjadi hanya karena membayangkan apa yang sedang Sehun lakukan di balik bilik kamar hotel bersama wanita tadi. Terang saja Hanna terkejut selepas membuka pintu kamar dan mendapati dirinya duduk bersila di ranjang dengan air mata menyedihkan.

“Nami …,” panggil Hanna lembut. Segera melepas coat hitam dan bergegas melangkah mendekatinya. Bisa dilihat, banyak gulungan tisu bernoda ingus dan air mata tercecer di lantai. Saat melirik jam di tangan; jarumnya sudah menunjuk pukul satu dini hari. Hanna pun meringis menghitung berapa banyak waktu yang digunakan gadis caramel itu untuk menangis seperti orang bodoh tak tahu cara berharap. Melihatnya, tak ubahnya melihat orang yang tahu besok pagi akan mati tanpa membawa berlian ke liang lahat.

“Sudah, ya. Kau harus tidur. Jangan seperti ini.” Hanna menarik kepala Nami; memeluknya dengan menjadikan bahu sebagai sandaran gadis itu.

“Berkali-kali … Sehun, membuatku menangis. Tetapi … yang … kulakukan hanya mencintainya … tanpa jera.” Nami tersenggal, mencurahkan isi hati. Suaranya juga sengau mengalahkan pekikan angsa di danau. Dan lagi, Hanna meringis tak tega; antara ingin meminta Nami untuk berhenti mencintai atau memberikannya keyakinan untuk tetap berdiri pada pendirian bodoh itu.

Maka, dengan tepukan lembut di punggung Nami; Hanna memulai dengan hati-hati, “Bukan salahmu mencintainya, Honey. Hanya saja, jangan sampai kau lupa daratan saat jatuh cinta dan lupa ingatan saat putus cinta. Tidak semestinya kau membiarkan cinta membuatmu nampak konyol, karena seharusnya kau tampil menarik untuk mendapatkannya. Sudah kubilang berulang kali, jangan diam saja dengan menjadikan dirimu saksi bisu ketampanan Oh Sehun.”

“Bagaimana bisa aku mendekatinya jika melihatnya dari jauh saja sudah membuat sekujur tubuhku bergetar, Hanna?” Nami membalas cepat.

Hanna menarik kedua sudut bibir, lembut. “Kalau begitu, berhenti mencintainya jika memang kau tak mampu mengejarnya.”

“Hanna!” Nami menegakkan tubuh.

“Dan jangan menangisi orang yang sama lagi, karena aku benci melihatmu nampak bodoh.” Hanna menghapus kesedihan di pipi Nami, masih dengan senyum manisnya. “Mengerti?” tekannya hati-hati.

Nami pun diam, tak lekas menjawab. Namun pelan-pelan manggut dua kali, disertai senyum tanggung yang manis. “Aku mengerti. Aku tidak akan diam lagi setelah ini.”

“Bagus. Pastikan juga kau tidak akan menangis lagi setelah mendengar jawaban tak menyenangkan dari mulutnya. Cukup buat pria itu mengatakan apa yang ingin kau dengar, tak peduli seberapa banyak kau harus mencoba.”

My Fate

Harvard Business SchoolHarvard Business School

Cahaya lampu artistik tak lagi mati saat petang datang membawa gelap malam. Belum sepenuhnya, hanya saja, bagian dalam gedung fakultas bisnis itu sudah membutuhkan penerangan. Terlebih, masih ada hilir mudik muda-mudi yang masih betah dengan urusan ini dan itu, seakan sengaja memerkental suasana semester genap di awal musim baru dengan berbagai macam tugas baru. Lain lagi dengan mereka yang berada di tingkat pascasarjana yang—mau tak mau—harus rela dipusingkan dengan materi tesis.

Sekarang saja baru bisa melangkah keluar dengan menenteng coat dimgray. Lengkap, dengan wajah lelah dan kacamata merosot di ujung hidung. Beruntungnya memakai dua lapis kemeja dengan paduan warna modis sehingga tak perlu takut menggigil dalam perjalanan menuju tempat parkir. Rambut cokelatnya juga kehilangan kesan rapi dengan tatanan baru yang membuat wanita mendecak—ingin mengacak dan membuatnya lebih berantakan.

Sehun

Lalu dengan santai menuruni tangga satu per satu sebelum berbelok ke area parkir. Sesekali membenarkan letak tas dan kacamata; seolah memberikan kesan pria baik-baik dengan tingkat sosialisasi tinggi. Ada kalanya malah membuat orang mual saat membandingkan dengan sisi liarnya di malam hari. Namun bukan berarti berkepribadian ganda, karena Sehun tetap sama dengan sikap dinginnya pada semua makhluk yang menurutnya tak menarik. Ia hanya pria jenius yang bisa membedakan mana tempat bermain dan mana tempat untuk serius menuntut ilmu.

Sayang, membedakan fokus menjadi hal sulit bagi Sehun ketika manik hitamnya tak sengaja membidik mangsa istimewa. Langkahnya bahkan melambat; sengaja sekali memerjelas untuk kemudian dinikmati dalam diam. Juga mengamati dengan seksama aktivitas manis objek pandangnya yang sibuk menunduk; memainkan ujung sepatu di atas bata putih. Membuat gerakan seperti membentuk huruf satu-satu dalam sebuah kata yang tak mampu Sehun baca. Kedua tangannya berada di dalam saku coat hitam, dengan jeans biru yang terlihat cocok dengan gayanya. Jangan lupakan rambut hitamnya yang dikuncir kuda bervolume hingga membuatnya nampak lugu.

Sempat ingin menghampiri, namun pada akhirnya mundur kembali. Segera berbelok arah menuju Aventador hitam, kendati mata masih melirik objek yang sama. Sedikit penasaran tentang apa yang sedang pelayan manis itu lakukan di sini, sementara Sehun tahu mereka berbeda fakultas.

“Aku merasa tak asing dengan wajahnya?”

Bola mata Sehun refleks bermanuver mencari sumber suara dan berhenti tatkala mendapati Pria Tan bersandar di tubuh mobil. Diam sejenak adalah reaksi pertamanya sebelum mengubah posisi; membelakangi pintu mobil dan menghadap mahasiswa Massachusetts tersebut. “Sedang apa kau di sini, Kai?” tanyanya. Tak ingat pernah membuat janji untuk bertemu hari ini.

“Kekasihku teman sekelasmu, jika kau lupa,” jawabnya santai. Dengan langkah pasti meregas jarak untuk kemudian menjadikan sebelah siku tumpuan di atas atap mobil Sehun. “Gadis itu pelayan yang minggu lalu melayani kita, bukan? Ah, bukan hanya minggu lalu saja, tapi setiap kali kita datang, selalu gadis itu yang melayani,” ulangnya bertanya sekaligus menyelidik. Matanya lincah memerhatikan gerak-gerik Sehun yang memang terlalu menarik untuk dibiarkan begitu saja. Lebih-lebih hanya karena melihat seorang wanita tanpa rok mini dan high heels.

“Manis, sih. Tapi sayang, terlalu baik untukmu,” celanya, sengaja menggoda Sehun yang hanya diam saja. Namun alih-alih tersinggung, senyum satu sudut justru terpeta tampan di wajahnya. Tak menyangka akan tertangkap basah setelah satu bulan lebih bersikap biasa.

“Aku tidak berniat menjadikannya mainan, Kai,” balasnya.

“Lalu apa? Pajangan beretalase di ranjangmu?” Sarkastik, Kai Kim terlalu mengenal baik sahabatnya ini. Meskipun kuliah di tempat berbeda lantaran gagal lolos di Harvard, tidak berarti membuatnya lupa pada kebiasaan buruk Sehun yang tak jauh beda dengannya itu.

“Teman berbagi komitmen dan seks.”

“Serius ingin berkomitmen? Kau bahkan belum mengenalnya dalam jarak tiga puluh senti.” Kai bisa menebak, Sehun tak pernah mendekati Si Pelayan secara langsung terlepas dari memesan dan menerima makanan darinya. Jelas, itu terlihat dari gerak tubuh pria tampan berkulit pucat tersebut.

“Akan kumulai malam ini.”

“Kau yakin, tidak akan meninggalkannya di pagi hari dalam keadaan tak berbusana?”

“Tidak untuk terburu-buru, Kai. Sudah kubilang, aku tak berniat menjadikannya mainan.” Sehun membuka pintu mobil.

“Lalu mengapa harus nanti malam? Kenapa tidak sekarang saja, hm?”

“Malam lebih leluasa,” jawabnya sambil melempar tas dan coat ke kursi di samping kemudi. Jauh terlihat dari kata peduli untuk sekedar memberi perhatian lebih pada Kai.

“Ah-ha?” Pria tan itu masih bersikeras menggali kesungguhannya.

“Aku duluan. Jangan lupa pakai lateks-mu.” Persetan, Sehun malah balas menggoda.

“Otakmu!” umpat Kai. Senyum tipis satu sudut pun dilihatnya sebelum ditinggalkan melaju.

AventadorLamborghini Aventador

My Fate

Usaha pertama tak berbuah manis, padahal napas sudah berada di ujung. Nami juga harus rela menelan kekecewaan setelah dua jam menunggu Sehun keluar dari kelas, namun ternyata salah dan malah menunggu di depan kelas lain. Bodoh. Pantas, tak menemukan batang hidung pria berkulit putih pucat itu keluar. Sialnya, ketika menyadari, Sehun sudah melangkah sangat jauh dan Nami menemukannya sudah melaju dengan Aventador hitam memukau.

Kini, wajahnya tak lebih baik dari bekas gulungan kertas. Jauh berbeda dengan Hanna yang tampak antusias menunggu kedatangannya di taman dekat area parkir. “Nami? Bagaimana?” tanyanya, tak sabaran—meskipun sadar betul ada kerutan halus di kening Nami yang bertuliskan, ‘Aku gagal’.

“Sehun keburu pergi. Jalannya cepat sekali, aku tak berhasil mengejarnya.” Nami menghela napas. Hanna tersenyum. Merangkulnya dari samping dengan tetap memertahankan wajah manis. Sengaja tak memerkeruh suasana dengan berpura-pura tak melihat mobil Sehun yang lewat ‘tepat’ di depan mata.

“Tak apa, masih ada hari esok,” hibur Hanna. “Bukankah Sehun pernah menjadi asisten dosen di kelasmu? Gunakan saja alasan tugas untuk mendekatinya, meskipun ia tak lagi membimbingmu,” sambungnya memberi masukan.

Nami pun bergeming, tampak berpikir. Meneleng ke kanan, menatap Hanna. Sejurus kemudian tersenyum dua jari, disertai pekikan kecil. Bahkan tak malu berjingkrak sambil memeluk sahabatnya itu erat. “Thanks, Honey!” katanya antusias. Mengundang kerutan tak mengerti di dahi mulus gadis dollfie tersebut.

My Fate

Seperti menggantungkan harapan pada langit-langit tak berpaku, bingkai asa itu jatuh. Pecah; berkeping tak berbentuk. Tahu, gadis incaran selalu berjalan riang menyusuri paving merah Harvard menuju asrama, makanya membawa mobil untuk menawarkan tumpangan. Namun malam ini ada yang berbeda dengan adanya kehadiran seorang pria tak asing di mata.

Cemburu, jelas bertahta. Menggulung awan putih di hati dan membiarkan mendung bergumul. Terlebih melihat senyum manis seorang Hanna untuk pria di samping Maserati. Semakin menjadi saat Hanna tak lagi terlihat setelah memasuki mobil putih yang tak bisa dibilang sederhana itu.

Oh, sial. Lamborghini-nya kalah cepat.

Atau Hanna memang sengaja melempar percikan api cemburu pada pondasi yang diam-diam dibangunnya? Ah, tidak. Itu praduga konyol. Sehun hanya ingin marah, tapi tidak tahu harus melampiaskannya kepada siapa. Byun Baekhyun? Pria itu yang menjemput Hanna pulang. Namun Sehun tak punya kupon untuk masuk; memisahkan keduanya dan memaki—mengklaim Hanna sebagai miliknya—karena kenyataan telah lebih dulu menampar. Menyadarkan Sehun bahwa dialah yang bukan siapa-siapa di sini, seberapa keras pun mengakui kepemilikan atas Hanna.

Sekarang saja hanya bisa menduga dan bertanya-tanya; hubungan apa yang kiranya tengah dilakoni oleh teman dan gadis incarannya tersebut? Jika hanya sebatas teman; itu tidak mungkin. Baekhyun mengejar gelar MBA di Universitas Massachusetts—tempat yang sama dengan Kai—dan bukannya Harvard. Jadi, sangat tidak mungkin pria manis itu rela jauh-jauh mengemudi ke lingkungan Harvard hanya untuk menjemput teman gadis di tengah malam, terkecuali jika memang status mereka lebih dari sekedar teman.

Argh. Jika seperti ini alurnya, Sehun harus rela mundur teratur dari keinginan mendapatkan Si Gadis Dollfie.

Dan dengan keyakinan bodoh, hal tersebut pun dilakoni semata tak ingin menjadi pria lemah yang hanya mengharap pada satu wanita. Bahkan tak lagi datang ke restoran tempat Hanna bekerja di hari-hari berikutnya, dengan fokus pada tujuan mengapa sudi bersaing dengan manusia-manusia berotak encer di Harvard selama (hampir) lima tahun. Tak jarang juga ikut terlibat dalam bisnis sang ayah di bidang properti untuk memerluas jaringan di pasar Amerika. Namun sayang, usahanya menahan rindu hanya bertahan dua minggu. Malam ini, Sehun datang lagi ke tempat biasa Hanna menyambutnya di depan pintu masuk.

Memutar kembali kepingan hitam dari awal mula mengapa bisa jatuh hati pada gadis sederhana—yang bahkan tak membiarkan belahan dadanya mengintip. Dan berakhir tak mengerti pada selera diri sendiri yang mendadak rendah semenjak pertama disambut gadis berambut hitam legam tersebut di tempat ini. Bahkan menggila hanya karena mencium perangkat feromon yang menggelitik hidungnya dari jarak tak kurang dari satu meter. Membuatnya begitu penasaran tentang seberapa menyenangkan membuat tubuh semampai itu berkeringat tak berdaya.

“Tuan?”

Oh, bahkan suaranya sangat merdu mendayu. Menarik kesadaran Sehun kembali ke titik waras, kendati wajahnya tetap sekaku kepingan es. Menatap Hanna dalam dan menguncinya tepat di gelapnya bola hitam kelabus. Tak sadar telah membuat gadis itu memeluk buku menu lebih erat seumpama pendosa yang telah banyak berbuat salah padanya. Alih-alih kembali bersuara, Hanna malah melemas di tempat lantaran ditatap dengan cara seperti itu. Bahkan untuk sekedar mencicit memecah hening pun tak mampu dilakukan.

“Jam berapa kau pulang?”

“Huh?” tanya Hanna kaku, kesulitan memahami medan. Pengunjung lain yang baru saja datang melewati pintu di belakang Sehun pun tak dihiraukan.

“Aku menunggumu di luar,” katanya, mengakhiri. Membiarkan Hanna membatu penuh tanya dengan rasa ingin tahu tinggi, sampai-sampai setia menatap kepergiannya yang menghilang di balik pintu keluar.

.

.

.

To Be Continued

.

.

.

Note :

Di sini, Sehun (23 thn) berada dua tingkat di atas Hanna-Nami (21 thn). Menyelesaikan S1 lebih cepat satu tahun, dan langsung melanjutkan pendidikan pascasarjana untuk mendapat gelar MBA—di Harvard, gelar MBA ditempuh dua tahun masa kuliah. Kalau di INSEAD Paris—tempat Hanna kuliah di FF Ambition—cuman 10 bulan masa kuliah.

Aku ambil setting Cambridge, Boston, untuk setting awal MF versi Rendezvous ini. Dan em, sedikit bayangan untuk kalian; Boston itu terkenal dengan sebutan kota pendidikan di Amerika sana. Ibaratnya, Boston itu Yogya-nya Amerika atau sebaliknya, Yogya itu Boston-nya Indonesia. Intinya, kedua kota ini sama-sama disebut kota pendidikan dengan banyak universitas ‘oke’ di dalamnya.

Kalau kalian tanya, kota mana yang paling ingin aku kunjungi di dunia ini untuk berlibur? Maka, dengan pasti aku akan jawab Boston. Sekalipun ada Manhattan dengan segala kemewahannya, ada London dengan segala macam hiburannya, Paris dengan sisi romantisnya, Dubai dengan segala rekor dunianya, ataupun Seoul tempat Sehun tinggal; karena di mataku, cuman Boston yang terindah dengan semua peninggalan bekas jajahan Inggris di dalamnya. /sayang, duitnya belum ada-,-/ #okeskip

Yang pasti, itu alasan kenapa Boston yang aku pilih untuk menjadi saksi dari kisah baru MF versi Rendezvous ini. (Rendezvous; bahasa Prancis yang berarti, Pertemuan Kembali)

Thanks, udah baca. Thanks juga buat komentar dan dukungannya^^

[Chapter 2-nya nanti, ya. Setelah Ambition Final Chapter beresss. Untuk password-nya, bisa didapat di sini dan sini.]

Ini visual Nami, untuk gambar Sehun-Hanna klik aja link ini.

Byun Nami

Regards,

Sehun’Bee

1,438 comments

  1. Setiap aku baca ff tentang sehun pasti sehun selalu bersikap penuh kejutan.. jadi sehun suka sma hanna? Trus gimna klo nami tau sehun sukanya sma hanna?

    Like

  2. Alah sehun kalah cepet sm baekhyun , maka ny jgn pake gengsi k buru d salib kan, seru kak ceritanya.

    Like

  3. Haiii .. aku readers baru , bangapta min ! iseng iseng cari fanfict sehun eh nemu ini blog yang menariknya lagi ada foto bias aku Park hyojin ullzang , dan aku numpang baca ya min 😀 Ceritanya bagus, alur nya kreatif . banyak pengetahuan di isi cerita yang bisa diambil maknanya , dan juga bang sehun unchhh …disini digambarin arrogant keren gitu , incredible story buat author yg udah bikin ini cerita nguras isi fikiran hehehe keren min, coba gabung sama percetakan pasti di publish 🙂 Goodjob author , gue bakal jadi readers mulai hari ini di blog sehun bee , salam kenal yahh 😀

    Sincerely,
    Ve_Alesha
    \

    Like

Leave a comment